Kamu boleh terus percaya bahwa kemarin… besok… lusa… dan hari-hari sesudah itu… aku masih di sini. Menunggu kamu mengucapkan apa yang harusnya kamu ucapkan.. berjam-jam yang lalu:“Selamat Ulang Tahun”
---------000-----------
Ribuan detik kuhabisi
Jalanan lengang kutentang
Oh, gelapnya, tiada yang buka
Adakah dunia mengerti?
Miliaran panah jarak kita
Tak jua tumbuh sayapku
Satu-satunya cara yang ada
Gelombang tuk kubicara
Tahanlah, wahai waktu
Ada “Selamat Ulang Tahun”
Yang harus tiba tepat waktunya
Untuk dia yang terjaga
Menantiku
Tengah malamnya lewat sudah
Tiada kejutan tersisa
Aku terlunta, tanpa sarana
Saluran tuk kubicara
Jangan berjalan, waktu
Ada “Selamat Ulang Tahun”
Yang harus tiba tepat waktunya
Semoga dia masih ada
Menantiku
Mundurlah, wahai waktu
Ada “Selamat Ulang Tahun”
Yang tertahan tuk ku ucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang s’lalu membara
Untuk dia yang terjaga
Menantiku
---------000-----------
Hai,
Aku sedang menebak-nebak,
kira-kira prosesi apa yang tengah kamu siapkan. Kamu selalu tergila-gila
berprosesi. Segala sesuatu harus dihantarkan dengan sempurna dan terencana. Perayaan
dan peringatan menyesaki kalender kita sepanjang tahun, dan tidak pernah kamu
bosan, bahkan kamu semakin ahli. Malam ini kamu menantangku berhitung dengan stop-watch. Teleponku akan bordering tepat
setengah jam lagi. Sungguh, kamu sudah sehebat itu. Janjimu adalah matahariku
yang terbit dan terbenam tanpa pernah keliru.
Sambil menunggu, izinkan aku
berkelakar mengenai kamu dan sayap. Sejak kepindahanku ke negara lain, kamu
terobsesi dengan segala makhluk bersayap. Kamu percaya bahwa manusia bersayap
adalah hibrida termulia, di atas manusia bersirip dan berinsang. Aku ingin
percaya kamu cukup cerdas untuk tidak mencoba terbang kemari. Kalaupun itu bisa
terjadi, aku khawatir kamu mati lemas di jalan lalu jatuh ke laut. Dimakan hiu.
Dan jadilah kalian berdua hibrida yang luar biasa. Manusia bersayap di dalam
perut makhluk bersirip berinsang.
Dengan caramu mengagungkan
momentum, kamu membuatku ikut percaya betapa sakralnya tiupan terompet tahun
baru yang harus jatuh tepat pada hitungan 00.00. kamu membuatku percaya pada
poin tambahan jika memperlakukan hidup seperti arena balap lari. Namun,
kepercayaanku pada arena itu luruh dalam satu malam karena kegagalanmu mencapai
garis finis. Lihatlah detik itu, jarum jam itu, momentum yang tak lagi berarti
di detik pertama kamu gagal mengucapkan apa yang harusnya kamu ucapkan… lima
menit yang lalu…
Aku tidak tahu kemalangan jenis
apa yang menimpa kamu, tapi aku ingin percaya ada insiden yang cukup dahsyat di
dunia serbaseluler ini hingga kamu tidak bisa menghubungiku. Mungkinkah matahari
lupa ingatan lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit? Bahkan, kiamat pun
hanya bicara soal arah yang terbalik, bukan soal perubahan jadwal. Sedangkan malam
ini terjadi absurditas, ya absurditas. Malam ini dimana kamu terlambat
mengucapkan apa yang harusnya kamu ucapkan… satu jam yang lalu…
Suatu waktu nanti, saat kamu
berhenti percaya manusia bisa punya sayap selain lempeng besi yang didorong
mesin jet, saat kamu berhenti percaya hidup lebih bermakna bila ada wasit
menyalakkan aba-aba “1,2,3”, kamu boleh terus percaya bahwa kemarin… besok…
lusa… dan hari-hari sesudah itu… aku masih di sini. Menunggu kamu mengucapkan
apa yang harusnya kamu ucapkan.. berjam-jam yang lalu:
“Selamat Ulang Tahun”
Cerita "Selamat Ulang Tahun", dalam novel karya Dee 'Rectoverso'